Strategi UKM Untuk Merebut Pasar Yang Tergerus Oleh Pasar Digital

Strategi umkm / ukm untuk memenangkan dan merebut pasar digital , menata ulang sistem terintegrasi agar ukm bisa bertahan di era digital dengan brand sendiri.

UMKM (usaha mikro, kecil, menengah) benteng rupiah? Gimana ceritanya tuh! Mengatasi rupiah yang loyo, pemerintah biasanya memakai instrumen-instrumen canggih yang hanya dimengerti oleh para ekonom: kebijakan fiskal, menaikkan BI rate, menekan defisit transaksi berjalan, dan sebagainya. Eh, ini kok sepele, UMKM menjadi solusi pelemahan rupiah?

Ya, itu setidaknya pikiran nakal saya. Saya membayangkan, suatu ketika 50-an juta UMKM kita mampu menghasilkan jutaan brand hebat. Dan jutaan brand UMKM itu mampu menjadi substitusi impor bagi produk-produk “berkonten asing” yang selama ini kita konsumsi.

Contohnya, UMKM kita bisa membuat nasi pecel istimewa sehingga mampu menyihir kita untuk beralih dari fast food global nan mentereng ke nasi pecel. Contoh lain, UMKM kita mampu menghasilkan buah-buah lokal branded di supermarket-supermarket premium sehingga mampu menyihir kita untuk tidak lagi membeli dan mengonsumsi buah-buah impor.

Nasi pecel dan buah lokal memiliki local content 100%, artinya tidak bergantung pada impor bahan baku dari luar negeri alias tak butuh dolar. Berbeda dengan fast food global atau buah impor yang jelas-jelas menguras rupiah untuk ditukarkan dolar. Nah coba bayangkan, jikalau 50-an juta UMKM semuanya menghasilkan brand hebat setara Starbucks atau McD, dan 100% menggunakan local content, maka UMKM akan betul-betul menjadi benteng rupiah.

Substitusi Impor
Banyak pakar ekonomi yang ndakik-ndakik bilang bahwa produk-produk Indonesia harus bisa menembus pasar global sehingga mampu menghasilkan banyak devisa. Argumentasinya, kalau produk Indonesia banyak menghasilkan devisa maka neraca pembayaran kita sehat, dan rupiah kita akan kokoh.

Saya sebaliknya, berpikir (pikiran nakal..) bahwa brand lokal tak perlu muluk-muluk melakukan ekspansi global, cukup berkiprah di pasar domestik dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Kenapa rupanya? Ya, karena pasar domestik kita saat ini sudah carut-marut diobok-obok brand-brand global. “Kedaulatan brand” kita saat ini sudah berada di ujung tanduk.

Ilustrasi gampang sering saya berikan dengan melihat isi dapur dan kamar mandi kita di rumah. Di kamar mandi, mulai dari sabun, sabun cuci, odol, shampo, semuanya kini sudah menjadi domain brand asing. Di dapur, mulai dari sambal, kecap, margarin, hingga bumbu penyedap, kini juga mulai digerogoti brand asing.

Jadi logika gampang saya mengatakan, daripada repot-repot ekspansi ke pasar luar negeri yang notabene pasti amat sulit, apa nggak sebaiknya kita menandingi brand-brand global yang menggerogoti pasar domestik. Ketika brand-brand lokal kita mampu menandingi brand-brand global dari bumi Indonesia, maka dampaknya akan setali tiga uang. Kita akan bisa menahan arus melayangnya rupiah yang dihisap dolar.

Kemandirian Ekonomi
Dengan potensi pasar domestik yang besar (dengan jumlah penduduk mencapai 240 juta, dan kelas menengah mencapai 130 juta), seharusnya orientasi industrialisasi Indonesia bukanlah menekankan pada industri yang berorientasi ekspor (export-led strategy) seperti halnya yang dilakukan Jepang atau Korea Selatan.

Jepang dan Korea Selatan beberapa dekade yang lalu berhasil menjalankan strategi ini karena memang pasar domestik mereka kecil. Tak bisa tidak, mereka harus menerapkan strategi yang bersifat outward-looking untuk bisa survive. Bagi mereka menciptakan brand-brand kompetitif di pasar ekspor (seperti Sony, Toyota, Samsung, Hyundai) merupakan pertaruhan hidup dan mati.

Bagaimana dengan Indonesia? Dengan pasar domestik yang besar, Indonesia seharusnya membangun strategi industrialisasi dengan cara menciptakan kemandirian ekonomi dimana industri-industri lokal mampu mengembangkan brand-brand lokal yang mencukupi kebutuhan konsumen domestik tanpa tergantung impor dari negara lain. Jadi orientasinya bukan “export-led“, tapi “import substitution“.

Strategi membangun brand lokal ini menjadi makin relevan ketika kita memiliki kekayaan alam dan budaya yang sangat besar. Jadi jumlah penduduk, kekayaan alam, dan kekayaan budaya yang luar biasa besar haruslah menjadi modal strategis bangsa ini untuk menciptkan brand-brand lokal tangguh di sektor-sektor yang local content-nya tinggi alias tak bergantung bahan-bahan yang harus dibeli dengan dolar.

Benteng Rupiah
Dalam konteks mewujudkan substitusi impor inilah saya melihat UMKM memainkan peran strategis. Pelaku UMKM kita umumnya menekuni sektor-sektor indusri yang memiliki local content besar dan tak banyak membutuhkan dolar. Saya sering menyebut sektor-sektor tersebut sebagai sektor “padat kreativitas” dan “padat budaya” seperti: pariwisata, kuliner, fesyen, kerajinan, game online, toys, pertanian (agro), perikanan, pengolahan produksi pertanian/perikanan, dan lain-lain.

Untuk membangun brand hebat, saya melihat UMKM seharusnya mengandalkan kreativitas (creativity), lokalitas (locality) dan keragaman (diversity) yang bersumber pada kekayaan alam dan budaya Indonesia. Dengan tiga hal tersebut seharusnya bisa menjadi sumber keunggulan komparatif (comparative advantages) UMKM kita dalam menandingi dominasi brand-brand global yang ada di pasar domestik. Kalau hal ini tercapai, maka pada gilirannya mereka mampu memainkan peran substitusi impor.

Ambil contoh di sektor usaha kuliner. Di bidang kuliner kita memiliki ragam dan tradisi kuliner Nusantara yang demikian kaya di masing-masing daerah dari Sabang sampai Merauke. Kekayaan khasanah kuliner Nusantara ini seharusnya bisa menjadi senjata ampuh UMKM untuk menyaingi dominasi jaringan fast food global yang kian menjamur.

Ketika 50-an juta UMKM kita bisa menghasilkan brand-brand hebat; dan brand-brand hebat itu bisa memainkan peran substitusi impor, maka UMKM akan betul-betul menjadi benteng rupiah yang kokoh. Dengan brand-brand UMKM yang hebat, bisa jadi rupiah bukan di posisi Rp.15.000, tapi Rp.2.500. Wow!!!

Tapi jangan bersenang-senang dulu. Semua yang saya tulis di atas hanyalah sebatas pikiran nakal saya lho. Untuk bisa betul-betul terwujud, dibutuhkan kerja raksasa dari seluruh anak negeri. Mari kita bangun kedaulatan brand Indonesia demi Merah-Putih.

jasa digital marketing seo